A. UU
No.19 tentang Hak Cipta
Berdasarkan UU RI no 19 tahun 2002, Bab 1 mengenai Ketentuan
Umum, pasal 1 :
1. Hak
Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan
atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak
mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
2. Pencipta
adalah seorang atau beberapa orang secara bersama -sama yang atas inspirasinya
melahirkan suatu Ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan,
atau keahlian yang dituangkan ke dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi.
3. Ciptaan
adalah hasil setiap karya Pencipta yang menunjukkan keasliannya dalam lapangan
ilmu pengetahuan, seni, atau sastra.
4. Pemegang
Hak Cipta adalah Pencipta sebagai Pemilik Hak Cipta, atau pihak yang menerima
hak tersebut dari Pencipta, atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari
pihak yang menerima hak tersebut.
5. Hak
Terkait adalah hak yang berkaitan dengan Hak Cipta, yaitu hak eksklusif bagi
Pelaku untuk memperbanyak atau menyiarkan pertunjukannya; bagi Produser Rekaman
Suara untuk memperbanyak atau menyewakan karya rekaman suara atau rekaman
bunyinya, dan bagi Lembaga Penyiaran untuk membuat, memperbanyak, atau
menyiarkan karya siarannya.
6. Lisensi
adalah izin yang diberikan oleh Pemegang Hak Cipta atau Pemegang Hak Terkait
kepada pihak lain untuk mengumumkan dan/atau memperbanyak Ciptaannya atau
produk Hak Terkaitnya dengan persyaratan tertentu.
B. Ketentuan umum, lingkung hak cipta, pembatasan hak cipta, prosedur pendaftaran HAKI
Pada dasarnya, hak cipta merupakan “hak untuk
menyalin suatu ciptaan”. Hak cipta dapat juga memungkinkan pemegang hak
tersebut untuk membatasi penggandaan tidak sah atas suatu ciptaan. Pada umumnya
pula, hak cipta memiliki masa berlaku tertentu yang terbatas.
Hak cipta berlaku pada berbagai jenis karya
seni atau karya cipta atau “ciptaan”. Ciptaan tersebut dapat mencakup puisi,
drama, serta karya tulis lainnya, film, karya-karya koreografis (tari, balet,
dan sebagainya), komposisi musik, rekaman suara, lukisan, gambar, patung, foto,
perangkat lunak komputer, siaran radio dan televisi, dan (dalam yurisdiksi
tertentu) desain industri. Hak cipta merupakan salah satu jenis hak
kekayaan intelektual, namun hak cipta berbeda secara mencolok dari hak kekayaan
intelektual lainnya (seperti paten, yang memberikan hak monopoli atas
penggunaan invensi), karena hak cipta bukan merupakan hak monopoli untuk
melakukan sesuatu, melainkan hak untuk mencegah orang lain yang melakukannya.
Di Indonesia, masalah hak cipta diatur dalam
Undang-undang Hak Cipta, yaitu, yang berlaku saat ini, Undang-undang Nomor 19
Tahun 2002. Dalam undang-undang tersebut, pengertian hak cipta adalah “hak
eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak
ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi
pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku” (pasal
1 butir 1).
-
Lingkup
Hak cipta
Lingkup hak cipta diatur didalam bab 2
mengenai LINGKUP HAK CIPTA pasal 2-28 :
-
Ciptaan
yang dilindungi (pasal 12), Ciptaan yang dilindungi adalah Ciptaan dalam bidang
ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang mencakup: buku, Program Komputer,
pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil
karya tulis lain, ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan lain yang sejenis dengan
itu, alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan,
lagu atau musik dengan atau tanpa teks, drama atau drama musikal, tari,
koreografi, pewayangan, dan pantomim, seni rupa dalam segala bentuk seperti
seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase,
dan seni terapan, arsitektur, peta, seni batik, fotografi, sinematografi,
terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil
pengalihwujudan.
-
Ciptaan
yang tidak ada Hak Cipta (pasal 13), hasil rapat terbuka lembaga-lembaga
Negara, peraturan perundang-undangan, pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah,
putusan pengadilan atau penetapan hakim atau keputusan badan arbitrase atau
keputusan badan-badan sejenis lainnya.
- Hak-Hak Yang Tercakup Dalam Hak Cipta
a. Hak
eksklusif
Beberapa hak eksklusif yang umumnya diberikan
kepada pemegang hak cipta adalah hak untuk :
-
Membuat
salinan atau reproduksi ciptaan dan menjual hasil salinan tersebut (termasuk,
pada umumnya, salinan elektronik)
-
Mengimpor
dan mengekspor ciptaan,
-
Menciptakan
karya turunan atau derivatif atas ciptaan (mengadaptasi ciptaan).
-
Menampilkan
atau memamerkan ciptaan di depan umum
-
Menjual
atau mengalihkan hak eksklusif tersebut kepada orang atau pihak lain.
Yang dimaksud dengan “hak eksklusif” dalam
hal ini adalah bahwa hanya pemegang hak ciptalah yang bebas melaksanakan hak
cipta tersebut, sementara orang atau pihak lain dilarang melaksanakan hak cipta
tersebut tanpa persetujuan pemegang hak cipta.
Di Indonesia, hak eksklusif pemegang hak
cipta termasuk “kegiatan menerjemahkan, mengadaptasi, mengaransemen,
mengalihwujudkan, menjual, menyewakan, meminjamkan, mengimpor, memamerkan,
mempertunjukkan kepada publik, menyiarkan, merekam, dan mengkomunikasikan
ciptaan kepada publik melalui sarana apapun”.
Selain itu, dalam hukum yang berlaku di
Indonesia diatur pula “hak terkait”, yang berkaitan dengan hak cipta dan juga
merupakan hak eksklusif, yang dimiliki oleh pelaku karya seni (yaitu pemusik,
aktor, penari, dan sebagainya), produser rekaman suara, dan lembaga penyiaran
untuk mengatur pemanfaatan hasil dokumentasi kegiatan seni yang dilakukan,
direkam, atau disiarkan oleh mereka masing-masing (UU 19/2002 pasal 1 butir
9–12 dan bab VII). Sebagai contoh, seorang penyanyi berhak melarang pihak lain
memperbanyak rekaman suara nyanyiannya.
Hak-hak eksklusif yang tercakup dalam hak
cipta tersebut dapat dialihkan, misalnya dengan pewarisan atau perjanjian
tertulis (UU 19/2002 pasal 3 dan 4). Pemilik hak cipta dapat pula mengizinkan
pihak lain melakukan hak eksklusifnya tersebut dengan lisensi, dengan
persyaratan tertentu (UU 19/2002 bab V).
- Perlindungan Hak Cipta
Perlindungan hak cipta pada umumnya berarti
bahwa penggunaan atau pemakaian dari hasil karya tertentu hanya dapat dilakukan
dengan ijin dari pemilik hak tersebut. Yang dimaksud menggunakan atau memakai
di sini adalah mengumumkan, memperbanyak ciptaan atau memberikan ijin untuk
itu.
ΓΌ Pasal
12 ayat 1 :
1.) Dalam Undang-undang ini
ciptaan yang dilindungi adalah ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan
sastra, yang mencakup :
a.
buku,
program komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan,
dan semua hasil karya tulis lain;
b.
ceramah,
kuliah, pidato, dan ciptaan lain yang sejenis dengan itu ;
c.
alat
peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan
d.
lagu atau musik dengan atau
tanpa teks;
e.
drama atau drama musikal,
tari, koreografi, pewayangan
dan pantomim;
dan pantomim;
f.
seni
rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi,
seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan;
g.
arsitektur
h.
peta;
i.
seni
batik;
j.
fotografi;
k.
sinematografi;
1.)
terjemahn,
tafsir, saduran, bunga rampai, data base, dan karya lain dari hasil
pengalihwujudan.
2.)
Ciptaan
sebagaimana dimaksud dalam huruf l dilindungi sebagai Ciptaan tersendiri dengan
tidak mengurangi Hak Cipta atas Ciptaan asli.
3.)
Perlindungan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), termasuk juga semua Ciptaan
yang tidak atau belum diumumkan, tetapi sudah merupakan suatu bentuk kesatuan
yang nyata, yang memungkinkan Perbanyakan hasil karya itu.”
ΓΌ Menurut
Pasal 1 ayat 8 :
Program komputer adalah sekumpulan instruksi
yang diwujudkan dalam bentuk bahasa, kode, skema, ataupun bentuk lain, yang
apabila digabungkan dengan media yang dapat dibaca dengan komputer akan mampu
membuat komputer bekerja untuk melakukan fungsi-fungsi khusus atau untuk
mencapai hasil yang khusus, termasuk penyiapan dalam merancang
instruksi-instruksi tersebut.
ΓΌ Dan
Pasal 2 ayat 2:
Pencipta dan /atau Pemegang Hak Cipta atas
karya sinematografi dan program computer (software) memberikan izin atau
melarng orang lain yang tanpa persetujuannya menyewakan ciptaan tersebut untuk
kepentingan yang bersifat komersial.
- Pembatasan Hak Cipta
Pembatasan Hak cipta, Pembatasan mengenai hak
cipta diatur dalam pasal 14, 15, 16 (ayat 1-6), 17, dan 18. Pemakaian
ciptaan tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta apabila sumbernya disebut
atau dicantumkan dengan jelas dan hal itu dilakukan terbatas untuk kegiatan
yang bersifat nonkomersial termasuk untuk kegiatan sosial, misalnya, kegiatan
dalam lingkup pendidikan dan ilmu pengetahuan, kegiatan penelitian dan pengembangan,
dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari penciptanya.
Kepentingan yang wajar dalam hal ini adalah
“kepentingan yang didasarkan pada keseimbangan dalam menikmati manfaat ekonomi
atas suatu ciptaan”. Termasuk dalam pengertian ini adalah pengambilan ciptaan
untuk pertunjukan atau pementasan yang tidak dikenakan bayaran. Khusus untuk
pengutipan karya tulis, penyebutan atau pencantuman sumber ciptaan yang dikutip
harus dilakukan secara lengkap. Artinya, dengan mencantumkan sekurang-kurangnya
nama pencipta, judul atau nama ciptaan, dan nama penerbit jika ada. Selain itu,
seorang pemilik (bukan pemegang hak cipta) program komputer dibolehkan membuat
salinan atas program komputer yang dimilikinya, untuk dijadikan cadangan
semata-mata untuk digunakan sendiri.
Selain itu, Undang-undang Hak Cipta juga
mengatur hak pemerintah Indonesia untuk memanfaatkan atau mewajibkan pihak
tertentu memperbanyak ciptaan berhak cipta demi kepentingan umum atau
kepentingan nasional (pasal 16 dan 18), ataupun melarang penyebaran ciptaan
“yang apabila diumumkan dapat merendahkan nilai-nilai keagamaan, ataupun
menimbulkan masalah kesukuan atau ras, dapat menimbulkan gangguan atau bahaya
terhadap pertahanan keamanan negara, bertentangan dengan norma kesusilaan umum
yang berlaku dalam masyarakat, dan ketertiban umum” (pasal 17).
Ketika orang mengambil hak cipta seseorang
maka orang tersebut akan mendapat hukuman yang sesuai pada kejahatan yang
dilakukan. Menurut UU No.19 Tahun 2002 pasal 13, tidak ada hak cipta atas
hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara, peraturan perundang-undangan,
pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah, putusan pengadilan atau
penetapan hakim, ataupun keputusan badan arbitrase atau keputusan badan-badan
sejenis lainnya (misalnya keputusan-keputusan yang memutuskan suatu
sengketa). Pasal 14 Undang-undang Hak Cipta mengatur bahwa penggunaan atau
perbanyakan lambang Negara dan lagu kebangsaan menurut sifatnya yang asli
tidaklah melanggar hak cipta. Demikian pula halnya dengan pengambilan berita
aktual baik seluruhnya maupun sebagian dari kantor berita, lembaga penyiaran,
dan surat kabar atau sumber sejenis lain, dengan ketentuan sumbernya harus
disebutkan secara lengkap.
- Prosedur Pendaftaran HaKI
Sesuai yang diatur pada bab IV
Undang-undang Hak Cipta pasal 35, pendaftaran hak cipta diselenggarakan
oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen HKI), yang
kini berada di bawah [Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia]. Pencipta
atau pemilik hak cipta dapat mendaftarkan langsung ciptaannya maupun
melalui konsultan HKI. Permohonan pendaftaran hak cipta dikenakan biaya
(UU 19/2002 pasal 37 ayat 2). Penjelasan prosedur dan formulir
pendaftaran hak cipta dapat diperoleh di kantor maupun situs webDitjen
HKI. “Daftar Umum Ciptaan” yang mencatat ciptaan-ciptaan terdaftar
dikelola oleh Ditjen HKI dandapat dilihat oleh setiap orang tanpa
dikenai biaya. Prosedur mengenai pendaftaran HAKI diatur dalam bab 4,
pasal 35-44.
C. UU No.36 tentang telekomunkasi, azas dan tujuan telekomunikasi, penyelenggaraan telekomunikasi, penyidikan, sanksi administrasi dan ketentuan pidana
Undang-undan nomor 36 tentang telekomunikasi berisi:
1. Telekomunikasi adalah setiap pemancaran,
pengiriman, dan atau penerimaan dari setiap
informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara, dan bunyi
melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik Iainnya.
2. Alat telekomunikasi adalah setiap
alat perlengkapan yang digunakan dalam bertelekomunikasi.
3. Perangkat telekomunikasi adalah
sekelompok alat telekomunikasi yang memungkinkan bertelekomunikasi.
Berdasarkan
pasal 1 diatas dinyatakan bahwa telekomunikasi merupakan kebutuhan yang
mendasar bagi kehidupan manusia sekarang ini. Kemudian telekomunikasi menjadi
sangat penting karena dalam perkembangannya telekomunikasi bukan hal yang baru
lagi dan juga dapat mendukung perekonomian oleh beberapa orang menjadi sumber
penghidupan.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 52 TAHUN 2000
TENTANG
PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Menimbang:
bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan mengenai penyelengaraan telekomunikasi
sebagimana diatur dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi,
dipandang perlu untuk menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi;
Mengingat
:
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945;
2.
Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (Lembaran Negara Tahun
1999 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3881);
MEMUTUSKAN
:
Menetapkan:PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :
1. Telekomunikasi adalah setiap
pemancaran, pengiriman dan atau penerimaan dari setiap informasi dalam bentuk
tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara, dan bunyi melalui sistem kawat,
optik, radio, atau sistem elektromagnetik lainnya.
2. Alat telekomunikasi adalah setiap
alat perlengkapan yang digunakan dalam bertelekomunikasi.
3. Perangkat telekomunikasi adalah
sekelompok alat telekomunikasi yang memungkinkan bertelekomunikasi.
4. Pemancar radio adalah alat
telekomunikasi yang menggunakan dan memancarkan gelombang radio.
5. Jaringan telekomunikasi adalah rangkaian
perangkat telekomunikasi dan kelengkapannya yang digunakan dalam
bertelekomunikasi.
6. Jasa telekomunikasi adalah layanan
telekomunikasi untuk memenuhi kebutuhan bertelekomunikasi dengan menggunakan
jaringan telekomunikasi.
7. Penyelenggara telekomunikasi adalah
perseorangan, koperasi, badan usaha milik daerah, badan usaha milik negara,
badan usaha swasta, instansi pemerintah, dan instansi pertahanan keamanan
negara.
8. Penyelenggaraan telekomunikasi
adalah kegiatan penyediaan dan pelayanan telekomunikasi sehingga memungkinkan
terselenggaranya telekomunikasi.
9. Penyelenggaraan jaringan
telekomunikasi adalah kegiatan penyediaan dan atau pelayanan jaringan
telekomunikasi yang memungkinkan terselenggaranya telekomunikasi.
10. Penyelenggaraan jasa telekomunikasi
adalah kegiatan penyediaan dan atau pelayanan jasa telekomunikasi yang
memungkinkan terselenggaranya telekomunikasi.
11. Penyelenggaraan telekomunikasi
khusus adalah penyelenggaraan telekomunikasi yang sifat, peruntukan dan
pengoperasiannya khusus.
12. Interkoneksi adalah keterhubungan
antar jaringan telekomunikasi dari penyelenggara telekomunikasi yang berbeda.
13. Kewajiban pelayanan universal adalah
kewajiban yang dibebankan kepada penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau
jasa telekomunikasi untuk memenuhi aksesibilitas bagi wilayah atau sebagian
masyarakat yang belum terjangkau oleh penyelenggaraan jaringan dan atau jasa
telekomunikasi.
14. Menteri adalah Menteri yang lingkup
tugas dan tanggung jawabnya di bidang telekomunikasi.
Bagian Pertama
Penyelenggaraan Telekomunikasi
Pasal 2
Penyelenggaraan telekomunikasi dilaksanakan
oleh penyelenggara telekomunikasi.
Pasal 3
Penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 meliputi:
a. penyelenggaraan jaringan telekomunikasi;
a. penyelenggaraan jaringan telekomunikasi;
b. penyelenggaraan jasa telekomunikasi;
c. penyelenggaraan telekomunikasi khusus.
Pasal 4
Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan
atau penyelenggaraan jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
huruf a dan huruf b dapat dilakukan oleh badan hukum yang didirikan untuk
maksud tersebut berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, yaitu:
a. Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
b. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
c. Badan Usaha Swasta; atau
d. Koperasi.
Pasal 5
Penyelenggaraan telekomunikasi khusus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c dapat dilakukan oleh:
a. perseorangan;
b. instansi pemerintah; atau
c. badan hukum selain penyelenggara
jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi.
Bagian Kedua
Penyelenggaraan Jaringan Telekomunikasi
Pasal
6
(1) Dalam penyelenggaraan jaringan
telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a, penyelenggara
jaringan telekomunikasi wajib membangun dan atau menyediakan jaringan
telekomunikasi.
(2) Penyelenggara jaringan
telekomunikasi dalam membangun jaringan telekomunikasi wajib memenuhi ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
(3) Penyelenggara jaringan
telekomunikasi dalam membangun dan atau menyediakan jaringan telekomunikasi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib mengikuti ketentuan teknis dalam
Rencana Dasar Teknis.
(4) Ketentuan mengenaai Rencana Dasar
Teknis sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal
7
Penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib
menjamin terselenggaranya telekomunikasi melalui jaringan yang
diselenggarakannya.
Pasal
8
(1)
Penyelenggara jaringan telekomunikasi dapat menyelenggarakan jasa
telekomunikasi melalui jaringan yang dimiliki dan disediakannya.
(2) Penyelenggaraan jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus merupakan kegiatan usaha yang terpisah dari penyelenggaraan jaringan yang sudah ada.
(3) Untuk menyelenggarakan jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib mendapatkan izin penyelenggaraan jasa telekomunikasi dari Menteri.
(2) Penyelenggaraan jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus merupakan kegiatan usaha yang terpisah dari penyelenggaraan jaringan yang sudah ada.
(3) Untuk menyelenggarakan jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib mendapatkan izin penyelenggaraan jasa telekomunikasi dari Menteri.
Pasal 9
(1) Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi terdiri dari :
a.
penyelenggaraan jaringan tetap;
b.
penyelenggaraan jaringan bergerak.
(2)
Penyelenggaraan jaringan tetap dibedakan dalam :
a. penyelenggaraan jaringan tetap
lokal;
b. penyelenggaraan jaringan tetap
sambungan langsung jarak jauh;
c. penyelenggaraan jaringan tetap
sambungan internasional;
d. penyelenggaraan jaringan tetap
tertutup.
(3)
Penyelenggaraan jaringan bergerak dibedakan dalam :
a. penyelenggaraan jaringan bergerak terestrial;
b. penyelenggaraan jaringan bergerak seluler;
c. penyelenggaraan jaringan bergerak satelit.
(4)
Ketentuan mengenai tata cara penyelenggaraan jaringan telekomunikasi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal
10
(1) Penyelenggara jaringan tetap lokal
atau penyelenggara jaringan bergerak seluler atau penyelenggara jaringan
bergerak satelit harus menyelenggarakan jasa teleponi dasar.
(2) Penyelenggara jaringan tetap lokal
dalam menyelenggarakan jasa teleponi dasar wajib menyelenggarakan jasa telepon
umum.
(3) Penyelenggara jaringan tetap lokal
dalam menyelenggarakan jasa telepon umum dapat bekerjasama dengan pihak ketiga.
Pasal 11
(1) Penyelenggara
jaringan telekomunikasi dalam menyediakan jaringan telekomunikasi dapat
bekerjasama dengan penyelenggara jaringan telekomunikasi luar negeri sesuai
dengan izin penyelenggaraannya.
(2)
Kerjasama
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dituangkan dalam suatu perjanjian tertulis.
Pasal
12
Penyelenggara
jaringan telekomunikasi wajib memenuhi setiap permohonan dari calon pelanggan
jaringan telekomunikasi yang telah memenuhi syarat-syarat berlangganan jaringan
telekomunikasi sepanjang jaringan telekomunikasi tersedia.
Bagian Ketiga
Penyelenggaraan
Jasa Telekomunikasi
Pasal
13
Dalam
penyelenggaraan jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b,
penyelenggara jasa telekomunikasi menggunakan jaringan telekomunikasi milik
penyelenggara jaringan telekomunikasi.
Pasal
14
(1) Penyelenggaraan jasa telekomunikasi
terdiri dari:
a. penyelenggaraan jasa teleponi dasar;
b. penyelenggaraan jasa nilai tambah
teleponi;
c. penyelenggaraan jasa multimedia;
(2) Ketentuan mengenai tata cara
penyelenggaraan jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
dengan Keputusan Menteri.
Pasal
15
(1) Penyelenggara
jasa telekomunikasi wajib menyediakan fasilitas telekomunikasi untuk menjamin
kualitas pelayanan jasa telekomunikasi yang baik.
(2)
Penyelenggara
jasa telekomunikasi wajib memberikan pelayanan yang sama kepada pengguna jasa
telekomunikasi.
(3)
Dalam
menyediakan fasilitas telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
penyelenggara jasa telekomunikasi wajib mengikuti ketentuan teknis dalam
Rencana Dasar Teknis.
(4) Ketentuan
mengenai Rencana Dasar Teknis sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dengan
Keputusan Menteri.
Pasal 16
(1) Penyelenggara jasa telekomunikasi
wajib mencatat/merekam secara rinci pemakaian jasa telekomunikasi yang
digunakan oleh pengguna telekomunikasi.
(2) Apabila pengguna memerlukan
catatan/rekaman pemakaian jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), penyelenggara telekomunikasi wajib memberikannya.
Pasal 17
(1) Catatan/rekaman
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 disimpan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan.
(2) Penyelenggara
jasa telekomunikasi berhak memungut biaya atas permintaan catatan/rekaman
pemakaian jasa telekomunikasi.
Pasal 18
(1) Pelanggan
jasa telekomunikasi dapat mengadakan sendiri perangkat akses dan perangkat terminal
pelanggan jasa telekomunikasi.
(2) Instalasi
perangkat akses di rumah dan atau gedung dapat dilaksanakan oleh instalatur
yang memenuhi persyaratan.
Pasal
19
Penyelenggara
jasa telekomunikasi wajib memenuhi setiap permohonan dari calon pelanggan telekomunikasi
yang telah memenuhi syarat-syarat berlangganan jasa telekomunikasi sepanjang
akses jasa telekomunikasi tersedia.
PENYIDIKAN
Pasal
44
(1)
Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga Pejabat Pegawai
Negeri Sipil tertentu di lingkungan Departemen yang lingkup tugas dan tanggung
jawabnya di bidang telekomunikasi, diberi wewenang khusus sebagai penyidik
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan
penyidikan tindak pidana di bidang telekomunikasi.
(2)
Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran
laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi.
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang
dan/atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang
telekomunikasi.
c. menghentikan penggunaan alat
dan/atau perangkat telekomunikasi yang menyimpang
dari ketentuan yang berlaku.
dari ketentuan yang berlaku.
d. memanggil orang untuk didengar dan
diperiksa sebagai saksi atau tersangka.
e. melakukan pemeriksaan alat dan/atau
perangkat telekomunikasi yang digunakan
atau diduga berkaitan dengan tindak pidana
di bidang telekomunikasi.
f. menggeledah tempat yang diduga digunakan
untuk melakukan tindak pidana di bidang telekomunikasi.
g. menyegel dan/atau menyita alat dan/atau
perangkat telekomunikasi yang digunakan atau yang diduga berkaitan dengan
tindak pidana di bidang telekomunikasi.
h. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan
tugas penyidikan tindak pidana di bidang telekomunikasi.
i.
mengadakan
penghentian penyidikan.
(3)
Kewenangan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan Undang-undang Hukum Acara Pidana.
SANKSI
ADMINISTRASI
Pasal
45
Barang
siapa melanggar ketentuan Pasal 16 ayat (1),Pasal 18 ayat (2),pasal19,pasal
21,Pasal 25 ayat (2),Pasal 26 ayat (1),Pasal 29 ayat (1),Pasal 29 ayat
(2),Pasal 33 ayat (1),Pasal 33 ayat (2),Pasal 34 ayat (1),Pasal 34 ayat (2)
dikenai sanksi administrasi.
Pasal
46
(1)
Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 berupa pencabutan izin
(2) Pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah
diberi peringatan tertulis.
KETENTUAN PIDANA
Pasal 47
Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1),dipidana penjara paling lama 6 (enam) tahun
dan atau denda paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 48
Penyelenggara jaringan telekomunikasi yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling banyak Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 49
Penyelenggara telekomunikasi yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20,dipidana dengan pidana penjara
paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah).
Pasal 50
Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22,dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam)
tahun dan atau denda paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 51
Penyelenggara komunikasi khusus yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1 ataau Pasal 29 ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau denda
paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
Pasal 52
Barang siapa
memperdagangkan,membuat,merakit,memasukan atau menggunakan perangkat
telekomunikasi di wilayah Negara Republik Indonesia yang tidak sesuai dengan
persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling banyak Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 53
(1) Barang siapa melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) atau Pasal 33 ayat (2) dipidana
dengan penjara pidana paling lama 4 (empat) tahun dan atau denda paling banyak
Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). (2) Apabila tindak pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya seseorang, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
Pasal 54
Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) atau Pasal 36 Ayat (2),dipidana dengan pidana
penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp
200.000.000,00 (dua raatus juta rupiah).
Pasal 55
Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38,dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam)
tahun dan atau denda paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 56
Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 40,dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima
belas) tahun.
Pasal 57
Penyelenggara jasa telekomunikasi yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1),dipidana dengan pidana
penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 58
Alat dan perangkat telekomunikasi yang digunakan dalam
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47,Pasal 48,Pasal 52,atau Pasal
56 dirampas oleh negara dan atau dimusnahkan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 59
Perbuataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
47,Pasal 48,Pasal 49,Pasal 50,Pasal 51,Pasal 52,Pasal 53,Pasal 54,Pasal
55,Pasal 56, dan Pasal 57 adalah kejahatan.
Penjelasan
UU No.36 Tentang Telekomunikasi
Penjelasan
UU No.36 Tentang Telekomunikasi
Undang-undang Nomor 36 Tahun tentang Telekomunikasi, pembangunan dan penyelenggaraan telekomunikasi telah menunjukkan peningkatan peran penting dan strategis dalam menunjang dan mendorong kegiatan perekonomian, memantapkan pertahanan dan keamanan, mencerdaskan kehidupan bangsa, memperlancar kegiatan pemerintah an, memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa dalam kerangka wawasan nusantara, dan memantapkan ketahanan nasional serta meningkatkan hubungan antar bangsa. Perubahan lingkungan global dan perkembangan teknologi telekomunikasi yang berlangsung sangat cepat mendorong terjadinya perubahan mendasar, melahirkan lingkungan telekomunikasi yang baru, dan perubahan cara pandang dalam penyelenggaraan telekomunikasi, termasuk hasil konvergensi dengan teknologi informasi dan penyiaran sehingga dipandang perlu mengadakan penataan kembali penyelenggaraan telekomunikasi nasional.
Tujuan Penyelenggaraan Telekomunikasi
Tujuan penyelenggaraan telekomunikasi yang demikian dapat dicapai, antara lain, melalui reformasi telekomunikasi untuk meningkatkan kinerja penyelenggaraan telekomunikasi dalam rangka menghadapi globalisasi, mempersiapkan sektor telekomunikasi memasuki persaingan usaha yang sehat dan profesional dengan regulasi yang transparan, serta membuka lebih banyak kesempatan berusaha bagi pengusaha kecil dan menengah. Dalam pembuatan UU ini dibuat karena ada beberapa alasan,salah satunya adalah bahwa pengaruh globalisasi dan perkembangan teknologi telekomunikasi yang sangat pesat telah mengakibatkan perubahan yang mendasar dalam penyelenggaraan dan cara pandang terhadap telekomunikasi dan untuk manjaga keamanan bagi para pengguna teknologi informasi.
Berikut adalah beberapa pengertian yang terdapat dalam UU No. 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi:
1. Telekomunikasi
adalah setiap pemancaran,
pengiriman, dan atau penerimaan dari setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda,
isyarat, tulisan, gambar, suara, dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio,
atau sistem elektromagnetik Iainnya;
2. Alat
telekomunikasi adalah setiap alat perlengkapan yang digunakan dalam bertelekomunikasi;
3. Perangkat
telekomunikasi adalah sekelompok alat telekomunikasi yang memungkinkan
bertelekomunikasi;
4. Sarana dan
prasarana tetekomunikasi adalah segala sesuatu yang memungkinkan dan mendukung
berfungsinya telekomunikasi;
5. Pemancar
radio adalah alat
telekomunikasi yang menggunakan dan memancarkan gelombang radio;
6. Jaringan
telekomunikasi adalah rangkaian perangkat telekomunikasi dan kelengkapannya yang
digunakan dalam bertelekomunikasi;
7. Jasa
telekomunikasi adalah layanan telekomunikasi untuk memenuhi kebutuhan
bertelekomunikasi dengan menggunakan jaringan telekomunikasi;
8. Penyelenggara
telekomunikasi adalah perseorangan, koperasi, badan usaha milik daerah, badan usaha
milik negara, badan usaha swasta, instansi pemerintah, dan instansi pertahanan
keamanan negara;
9. Pelanggan adalah
perseorangan, badan hukum, instansi pemerintah yang menggunakan jaringan
telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi berdasarkan kontrak;
10. Pemakai adalah
perseorangan, badan hukum, instansi pemerintah yang menggunakan jaringan
telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi yang tidak berdasarkan kontrak;
11. Pengguna adalah
pelanggan dan pemakai;
12. Penyelenggaraan
telekomunikasi adalah kegiatan penyediaan dan pelayanan telekomunikasi sehingga
memungkinkan terselenggaranya telekomunikasi;
13. Penyelenggaraan
telekomunikasi khusus adalah penyelenggaraan telekomunikasi yang sifat,
peruntukan, dan pengoperasiannya khusus;
14. Interkoneksi adalah
keterhubungan antarjaringan telekomunikasi dan penyelenggara jaringan
telekomunikasi yang berbeda;
15. Menteri adalah
Menteri yang ruang Iingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang
telekomunikasi.
Keterbatasan
UU Telekomunikasi Dalam Mengatur Penggunaan Teknologi Informasi (UU ITE)
Berikut adalah salah satu contoh pasal yang terdapat pada Undang-Undang No 36 Tahun 1999:
Menurut Pasal 1 angka (1) Undang-Undang No 36 Tahun 1999, Telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman, dan/atau penerimaan dan setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara, dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik lainnya.
Dari definisi tersebut, maka kita simpulkan bahwa Internet dan segala fasilitas yang dimilikinya merupakan salah satu bentuk alat komunikasi karena dapat mengirimkan dan menerima setiap informasi dalam bentuk gambar, suara maupun film dengan sistem elektromagnetik.
Penyalahgunaan Internet yang mengganggu ketertiban umum atau pribadi dapat dikenakan sanksi dengan menggunakan Undang-Undang ini, terutama bagi para hacker yang masuk ke sistem jaringan milik orang lain sebagaimana diatur pada Pasal 22, yaitu Setiap orang dilarang melakukan perbuatan tanpa hak, tidak sah, atau memanipulasi:
a) Akses ke jaringan telekomunikasi
b) Akses ke
jasa telekomunikasi
c) Akses ke
jaringan telekomunikasi khusus
Menurut saya berdasarkan UU No.36 tentang telekomunikasi, disana tidak terdapat batasan dalam penggunaan teknologi informasi, karena penggunaan teknologi informasi sangat berpengaruh besar untuk negara kita. Karena kita dapat secara bebas memperkenalkan kebudayaan kita kepada negara-negara luar untuk menarik minat para turis asing dan tekhnologi informasi juga dapat digunakan oleh para pengguna teknologi informasi dibidang apapun.
Jadi keuntungannya juga dapat dilihat dari segi bisnis. Yaitu kita dengan bebas dan luas dapat memasarkan bisnis dalam waktu singkat. Jadi kesimpulannya menurut saya adalah, penggunaan teknologi informasi tidak memiliki batasan, karena dapat mnguntungkan dalam semua pihak.
D. RUU tentang informasi dan transaksi elektronik (ITE) peraturan lain yang terkait peraturan bank indonesia tentang internet banking
RUU tentang informasi dan transaksi elektronik
(ITE) peraturan lain yg terkait (peraturan bank indonesia ttg internet banking
)
Internet banking bukan merupakan istilah yang
asing lagi bagi masyarakat Indonesia khususnya bagi yang tinggal di wilayah
perkotaan. Hal tersebut dikarenakan semakin banyaknya perbankan nasional yang
menyelenggarakan layanan tersebut.
Penyelenggaraan internet banking yang sangat
dipengaruhi oleh perkembangan teknologi informasi, dalam kenyataannya pada satu
sisi membuat jalannya transaksi perbankan menjadi lebih mudah, akan tetapi di
sisi lain membuatnya semakin berisiko. Dengan kenyataan seperti ini, keamanan
menjadi faktor yang paling perlu diperhatikan. Bahkan mungkin faktor keamanan
ini dapat menjadi salah satu fitur unggulan yang dapat ditonjolkan oleh pihak
bank.
Salah satu risiko yang terkait dengan
penyelenggaraan kegiatan internet banking adalah internet fraud atau penipuan
melalui internet. Dalam internet fraud ini menjadikan pihak bank atau nasabah
sebagai korban, yang dapat terjadi karena maksud jahat seseorang yang memiliki
kemampuan dalam bidang teknologi informasi, atau seseorang yang memanfaatkan
kelengahan pihak bank maupun pihak nasabah.
Oleh karena itu perbankan perlu meningkatkan
keamanan internet banking antara lain melalui standarisasi pembuatan aplikasi
internet banking, adanya panduan bila terjadi fraud dalam internet banking dan
pemberian informasi yang jelas kepada user.
Peranan Bank Indonesia dalam Pencegahan Internet
Fraud
Salah satu tugas pokok Bank Indonesia sebagaimana
diamanatkan dalam UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah
diubah dengan UU No. 3 Tahun 2004 adalah mengatur dan mengawasi bank. Dalam
rangka pelaksanaan tugas tersebut Bank Indonesia diberikan kewenangan sbb:
Menetapkan peraturan perbankan termasuk
ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat prinsip-prinsip kehati-hatian.
Memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan
kegiatan usaha tertentu dari bank, memberikan izin pembukaan, penutupan dan
pemindahan kantor bank, memberikan persetujuan atas kepemilikan dan
kepengurusan bank.
Melaksanakan pengawasan bank secara langsung dan
tidak langsung.
Mengenakan sanksi terhadap bank sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan.
Pelaksanaan kewenangan tugas-tugas tersebut di
atas ditetapkan secara lebih rinci dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI).
Terkait dengan tugas Bank Indonesia mengatur dan
mengawasi bank, salah satu upaya untuk meminimalisasi internet fraud yang
dilakukan oleh Bank Indonesia adalah melalui pendekatan aspek regulasi.
Sehubungan dengan hal tersebut, Bank Indonesia telah mengeluarkan serangkaian
Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia yang harus dipatuhi
oleh dunia perbankan antara lain mengenai penerapan manajemen risiko dalam
penyelenggaraan kegiatan internet banking dan penerapan prinsip Know Your
Customer (KYC).
1. Manajemen risiko dalam penyelenggaraan
kegiatan internet banking
Peraturan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia
terkait dengan pengelolaan atau manajemen risiko penyelenggaraan kegiatan
internet banking adalah Peraturan Bank Indonesia No. 5/8/PBI/2003 tentang
Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum dan Surat Edaran Bank Indonesia No.
6/18/DPNP, tanggal 20 April 2004 tentang Penerapan Manajemen Risiko Pada
Aktivitas Pelayanan Jasa Bank Melalui Internet (Internet Banking). Pokok-pokok
pengaturannya antara lain sbb:
a. Bank yang menyelenggarakan kegiatan internet
banking wajib menerapkan manajemen risiko pada aktivitas internet banking
secara efektif.
b. Penerapan manajemen risiko tersebut wajib
dituangkan dalam suatu kebijakan, prosedur dan pedoman tertulis dengan mengacu
pada Pedoman Penerapan Manajemen Risiko pada Aktivitas Pelayanan Jasa Bank
Melalui Internet (Internet Banking), yang ditetapkan dalam lampiran dalam Surat
Edaran Bank Indonesia tersebut.
c. Pokok-pokok penerapan manajemen risiko bagi
bank yang menyelenggarakan kegiatan internet banking adalah:
2. Adanya pengawasan aktif komisaris dan direksi
bank, yang meliputi:
a) Komisaris dan direksi harus melakukan
pengawasan yang efektif terhadap risiko yang terkait dengan aktivitas internet
banking, termasuk penetapan akuntabilitas, kebijakan dan proses pengendalian
untuk mengelola risiko tersebut.
b) Direksi harus menyetujui dan melakukan kaji
ulang terhadap aspek utama dari prosedur pengendalian pengamanan bank.
3. Pengendalian pengamanan (security control)
a) Bank harus melakukan langkah-langkah yang
memadai untuk menguji keaslian (otentikasi) identitas dan otorisasi terhadap
nasabah yang melakukan transaksi melalui internet banking.
b) Bank harus menggunakan metode pengujian
keaslian transaksi untuk menjamin bahwa transaksi tidak dapat diingkari oleh
nasabah (non repudiation) dan menetapkan tanggung jawab dalam transaksi
internet banking.
c) Bank harus memastikan adanya pemisahan tugas
dalam sistem internet banking, database dan aplikasi lainnya.
d) Bank harus memastikan adanya pengendalian
terhadap otorisasi dan hak akses (privileges) yang tepat terhadap sistem
internet banking, database dan aplikasi lainnya.
e) Bank harus memastikan tersedianya prosedur
yang memadai untuk melindungi integritas data, catatan/arsip dan informasi pada
transaksi internet banking.
f) Bank harus memastikan tersedianya mekanisme
penelusuran (audit trail) yang jelas untuk seluruh transaksi internet banking.
g) Bank harus mengambil langkah-langkah untuk
melindungi kerahasiaan informasi penting pada internet banking. Langkah
tersebut harus sesuai dengan sensitivitas informasi yang dikeluarkan dan/atau
disimpan dalam database.
4. Manajemen Risiko Hukum dan Risiko Reputasi
a) Bank harus memastikan bahwa website bank
menyediakan informasi yang memungkinkan calon nasabah untuk memperoleh
informasi yang tepat mengenai identitas dan status hukum bank sebelum melakukan
transaksi melalui internet banking.
b) Bank harus mengambil langkah-langkah untuk
memastikan bahwa ketentuan kerahasiaan nasabah diterapkan sesuai dengan yang
berlaku di negara tempat kedudukan bank menyediakan produk dan jasa internet
banking.
c) Bank harus memiliki prosedur perencanaan
darurat dan berkesinambungan usaha yang efektif untuk memastikan tersedianya
sistem dan jasa internet banking.
d) Bank harus mengembangkan rencana penanganan
yang memadai untuk mengelola, mengatasi dan meminimalkan permasalahan yang
timbul dari kejadian yang tidak diperkirakan (internal dan eksternal) yang
dapat menghambat penyediaan sistem dan jasa internet banking.
e) Dalam hal sistem penyelenggaraan internet
banking dilakukan oleh pihak ketiga (outsourcing), bank harus menetapkan dan
menerapkan prosedur pengawasan dan due dilligence yang menyeluruh dan
berkelanjutan untuk mengelola hubungan bank dengan pihak ketiga tersebut.
5. Penerapan prinsip Know Your Customer (KYC)
Upaya lainnya yang dilakukan oleh Bank Indonesia
dalam rangka meminimalisir terjadinya tindak kejahatan internet fraud adalah
pengaturan kewajiban bagi bank untuk menerapkan prinsip mengenal nasabah atau
yang lebih dikenal dengan prinsip Know Your Customer (KYC). Pengaturan tentang
penerapan prinsip KYC terdapat dalam Peraturan Bank Indonesia No. 3/10/PBI/2001
tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles)
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia No. 3/23/PBI/2001 dan
Surat Edaran Bank Indonesia 6/37/DPNP tanggal 10 September 2004 tentang
Penilaian dan Pengenaan Sanksi atas Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah dan
Kewajiban Lain Terkait dengan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang.
Pokok-pokok pengaturannya antara lain sbb:
a. Prinsip Mengenal Nasabah adalah prinsip yang
diterapkan bank untuk mengetahui identitas nasabah, memantau kegiatan transaksi
nasabah termasuk pelaporan transaksi yang mencurigakan.
b. Dalam menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah,
bank wajib:
1) Menetapkan kebijakan penerimaan nasabah.
2) Menetapkan kebijakan dan prosedur dalam
mengidentifikasi nasabah.
3) Menetapkan kebijakan dan prosedur pemantauan
terhadap rekening dan transaksi nasabah.
4) Menetapkan kebijakan dan prosedur manajemen
risiko yang berkaitan dengan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah.
c. Terkait dengan kebijakan penerimaan dan
identifikasi nasabah, maka:
1) Sebelum melakukan hubungan usaha dengan
nasabah, bank wajib meminta informasi mengenai identitas calon nasabah, maksud
dan tujuan hubungan usaha yang akan dilakukan calon nasabah dengan bank,
informasi lain yang memungkinkan bank untuk dapat mengetahui profil calon
nasabah dan identitas pihak lain dalam hal calon nasabah bertindak untuk dan
atas nama pihak lain. Identitas calon nasabah tersebut harus dibuktikan dengan
dokumen-dokumen pendukung dan bank wajib meneliti kebenaran dokumen-dokumen
pendukung tersebut.
2) Bagi bank yang telah menggunakan media
elektronis dalam pelayanan jasa perbankan wajib melakukan pertemuan dengan
calon nasabah sekurang-kurangnya pada saat pembukaan rekening.
d. Dalam hal calon nasabah bertindak sebagai
perantara dan atau kuasa pihak lain (beneficial owner) untuk membuka rekening,
bank wajib memperoleh dokumen-dokumen pendukung identitas dan hubungan hukum,
penugasan serta kewenangan bertindak sebagai perantara dan atau kuasa pihak
lain. Dalam hal bank meragukan atau tidak dapat meyakini identitas beneficial
owner, bank wajib menolak untuk melakukan hubungan usaha dengan calon
nasabah.e. Bank wajib menatausahakan dokumen-dokumen pendukung nasabah dalam jangka
waktu sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sejak nasabah menutup rekening pada
bank. Bank juga wajib melakukan pengkinian data dalam hal terdapat perubahan
terhadap dokumen-dokumen pendukung tersebut.
f. Bank wajib memiliki sistem informasi yang
dapat mengidentifikasi, menganalisa, memantau dan menyediakan laporan secara
efektif mengenai karakteristik transaksi yang dilakukan oleh nasabah bank.
g. Bank wajib memelihara profil nasabah yang
sekurang-kurangnya meliputi informasi mengenai pekerjaan atau bidang usaha,
jumlah penghasilan, rekening lain yang dimiliki, aktivasi transaksi normal dan
tujuan pembukaan rekening.
h. Bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur
manajemen risiko yang sekurang-kurangnya mencakup:
1) Pengawasan oleh pengurus bank (management
oversight).
2) Pendelegasian wewenang.
3) Pemisahan tugas.
4) Sistem pengawasan intern termasuk audit
intern.
5) Program pelatihan karyawan mengenai penerapan
Prinsip Mengenal Nasabah.
i. Bank Indonesia melakukan penilaian terhadap
pelaksanaan Prinsip Mengenal Nasabah/KYC dan Undang- Undang Tindak Pidana
Pencucian Uang (UU TPPU) dimana penilaian tersebut dilakukan secara kualitatif
atas faktor-faktor manajemen risiko penerapan KYC.
6. Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan
Kartu dan Transparansi Produk Bank
Regulasi lainnya yang dikeluarkan oleh Bank
Indonesia terkait dengan upaya meminimalisir internet fraud adalah regulasi
mengenai penyelenggaraan kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu
(APMK), mengingat APMK merupakan alat atau media yang sering digunakan dalam
kejahatan internet fraud. Ketentuan mengenai penyelenggaraan APMK terdapat
dalam Peraturan Bank Indonesia No. 6/30/PBI/2004 tentang Penyelenggaraan
Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu dan Surat Edaran Bank
Indonesia No. 7/60/DASP, tanggal 30 Desember 2005 tentang Prinsip Perlindungan
Nasabah dan Kehati-hatian, serta Peningkatan Keamanan Dalam Penyelenggaraan
Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu.
Adapun pokok-pokok pengaturannya antara lain sbb:
a). Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu
(APMK) adalah alat pembayaran yang berupa kartu kredit, kartu ATM, kartu debet,
kartu prabayar dan atau yang dipersamakan dengan hal tersebut.
b). Bagi bank dan lembaga bukan bank yang
merupakan penyelenggara APMK harus menyerahkan bukti penerapan manajemen
risiko.
c). Penerbit APMK wajib meningkatkan keamanan
APMK untuk meminimalkan tingkat kejahatan terkait dengan APMK dan sekaligus
untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap APMK.
d). Peningkatan keamanan tersebut dilakukan
terhadap seluruh infrastruktur teknologi yang terkait dengan penyelenggaraan
APMK, yang meliputi pengamanan pada kartu dan pengamanan pada seluruh sistem
yang digunakan untuk memproses transaksi APMK termasuk penggunaan chip pada
kartu kredit. Selain itu, Bank Indonesia juga mengeluarkan regulasi mengenai
transparansi informasi produk bank dan penggunaan data pribadi nasabah, sebagai
upaya untuk mengedukasi nasabah terhadap produk bank dan meningkatkan
kewaspadaan nasabah terhadap berbagai risiko termasuk internet fraud. Ketentuan
tersebut terdapat dalam Peraturan Bank Indonesia No. 7/6/PBI/2005 Jo SE No.
7/25/DPNP tentang Transparansi Informasi Produk Bank Dan Penggunaan Data
Pribadi Nasabah.
Pokok-pokok pengaturan dalam ketentuan tersebut
antara lain sbb:
a). Bank wajib menerapkan transparansi informasi
mengenai Produk Bank dan penggunan Data Pribadi Nasabah.
b). Bank dilarang memberikan informasi yang
menyesatkan (mislead) dan atau tidak etis (misconduct).
c). Informasi Produk Bank tersebut, minimal
meliputi: nama produk, jenis produk, manfaat dan resiko produk, persyaratan dan
tatacara penggunaan produk, biaya-biaya yang melekat pada produk, perhitungan
bunga atau bagi hasil dan margin keuntungan, jangka waktu berlakunya Produk
Bank, penerbitan (issuer/originator) Produk Bank.
d). Bank wajib memberikan informasi kepada
nasabah mengenai manfaat dan risiko pada setiap produk bank, dimana bank harus
menjelaskan secara terinci setiap manfaat yang diperoleh nasabah dari suatu
produk bank dan potensi risiko yang dihadapi oleh nasabah dalam masa penggunaan
produk bank.
Rahasia Bank
Salah satu hal penting dalam memproses pelaku
internet fraud adalah pembukaan rahasia bank untuk memperoleh keterangan
simpanan milik pelaku internet fraud tersebut, dimana keterangan tersebut dapat
dijadikan salah bukti oleh aparat penegak hukum untuk keperluan persidangan
pidana.
Ketentuan mengenai rahasia bank diatur dalam UU
Perbankan dan kemudian diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bank Indonesia No.
2/19/PBI/2000 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Perintah atau Izin
Tertulis Membuka Rahasia Bank. Berdasarkan ketentuan tersebut, pada prinsipnya
setiap Bank dan afiliasinya wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah
penyimpan dan simpanannya (Rahasia Bank). Sedangkan keterangan mengenai nasabah
selain sebagai nasabah penyimpan, tidak wajib dirahasiakan.
Terhadap Rahasia Bank dapat disimpangi dengan
izin terlebih dahulu dari pimpinan Bank Indonesia untuk kepentingan perpajakan,
penyelesaian piutang bank oleh BUPN/PUPLN dan kepentingan peradilan perkara
pidana dimana status nasabah penyimpan yang akan dibuka rahasia bank harus
tersangka atau terdakwa. Terhadap Rahasia Bank dapat juga disimpangi tanpa izin
terlebih dahulu dari pimpinan Bank Indonesia yakni untuk kepentingan perkara
perdata antara bank dengan nasabahnya, tukar menukar informasi antar bank, atas
permintaan/persetujuan dari nasabah dan untuk kepentingan ahli waris yang sah.
Dalam hal diperlukan pemblokiran dan atau
penyitaan simpanan atas nama seorang nasabah penyimpan yang telah dinyatakan
sebagai tersangka atau terdakwa oleh pihak aparat penegak hukum, berdasarkan
ketentuan Pasal 12 ayat (1) PBI Rahasia Bank, dapat dilakukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku tanpa memerlukan izin
terlebih dahulu dari pimpinan Bank Indonesia.
Namun demikian untuk memperoleh keterangan
mengenai nasabah penyimpan dan simpanan nasabah yang diblokir dan atau disita
pada bank, menurut Pasal 12 ayat (2) PBI Rahasia Bank, tetap berlaku ketentuan
mengenai pembukaan Rahasia Bank dimana memerlukan izin terlebih dahulu dari
pimpinan Bank Indonesia.
Urgensi Undang-Undang tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Undang-Undang tentang Transfer Dana (UU
Transfer Dana)
Payung hukum setingkat undang-undang yang khusus
mengatur tentang kegiatan di dunia maya hingga saat ini belum ada di Indonesia.
Dalam hal terjadi tindak pidana kejahatan di dunia maya, untuk penegakan
hukumnya masih menggunakan ketentuan-ketentuan yang ada di KUHP yakni mengenai
pemalsuan surat (Pasal 263), pencurian (Pasal 362), penggelapan (Pasal 372),
penipuan (Pasal 378), penadahan (Pasal 480), serta ketentuan yang terdapat
dalam Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan Undang-Undang
tentang Merek.
Ketentuan-ketentuan tersebut tentu saja belum
bisa mengakomodir kejahatan-kejahatan di dunia maya (cybercrime) yang modus
operandinya terus berkembang. Selain itu dalam penanganan kasusnya seringkali
menghadapi kendala antara lain dalam hal pembuktian dengan menggunakan alat
bukti elektronik dan ancaman sanksi yang terdapat dalam KUHP tidak sebanding dengan
kerugian yang diderita oleh korban, misalnya pada kasus internet fraud, salah
satu pasal yang dapat digunakan adalah Pasal 378 KUHP (penipuan) yang ancaman
hukumannya maksimum 4 (empat) tahun penjara sedangkan kerugian yang mungkin
diderita dapat mencapai miliaran rupiah.
Terkait dengan hal-hal tersebut di atas,
kehadiran Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan
Undang-Undang tentang Transfer Dana (UU Transfer Dana) diharapkan dapat menjadi
faktor penting dalam upaya mencegah dan memberantas cybercrimes serta dapat
memberikan deterrent effect kepada para pelaku cybercrimes sehingga akan
berfikir jauh untuk melakukan aksinya. Selain itu hal yang penting lainnya
adalah pemahaman yang sama dalam memandang cybercrimes dari aparat penegak
hukum termasuk di dalamnya law enforcement.